Pandemi Covid-19 mengubah ritme hidup saya, mulai dari cara bekerja, cara bertemu seseorang, sampai gaya hidup. Saya suka berada di rumah, tetapi tidak pernah terpikir untuk berada di rumah selama hampir 6 bulan. Saya merindukan jalan-jalan ke mal sendirian, berada di sudut kantor sambil menulis naskah sendirian, atau sekadar memperhatikan jalan dari jendela Transjakarta.
Saya ingat ketika pemerintah mengumumkan kasus pertama Covid-19, kantor saya langsung memberlakukan jadwal masuk: satu hari bekerja di kantor, satu hari bekerja dari rumah. Namun, karena saya pekerja lepas, Manajer dan Kepala Divisi saat itu mengizinkan saya untuk bekerja dari rumah, mulai tanggal 16 Maret 2020. Awalnya, saya senang. Tetapi, selama menjalani empat bulan hanya di rumah, saya "gerah" juga.
Sejak pandemi ini pula, saya mulai berlangganan layanan film, salah satunya Netflix. Waktu itu, provider wifi di rumah saya masih memblokir Netflix. Saya perlu berlangganan VPN, yaitu Express VPN. Saya berpatungan dengan Ajeng dan dua sepupunya, Fira—yang ternyata anak Sastra Belanda UI—dan Dapong.
Seri yang pertama saya tonton adalah Hormones The Series, sebuah drama Thailand yang terdiri atas tiga musim. Seri tersebut sebenarnya sudah pernah saya tonton sebelum di Netflix. Saya suka sekali dengan seri itu sampai tidak pernah bosan untuk menonton ulang. Hormones The Series menceritakan remaja SMA yang bersekolah di Nadao Bangkok College. Tiap tokoh memiliki ceritanya masing-masing. Saya paling suka dengan cerita antara Tar yang diperankan oleh Gunn Junhavat dan Toei yang diperankan oleh Sutatta Udomsilp karena pasangan ini terlalu gemas dan cukup relate dengan saya banyak orang. Kedua pasangan ini dekat karena mereka satu meja dan menyukai aliran musik yang sama. Alasan yang terlalu standar, ya? Selain alur cerita, saya juga suka lagu yang diciptakan Tar untuk Toei—berjudul "Toei".
Saya juga menonton beberapa seri Barat, seperti Never Have I Ever..., The End of The F***ing World, I'm Not Okay With This, dan Hollywood—perlu berhati-hati menonton seri ini karena begitulah. Tiba-tiba, saya jadi tertarik ingin menonton drama Korea. Ada satu cuitan di Twitter yang menampilkan cuplikan drama Korea berjudul Reply 1988. Cuplikan tersebut berisi seorang anak tengah yang menangis karena ulang tahunnya selalu dirayakan secara bersama dengan sang kakak, padahal ia sudah meminta untuk tidak dirayakan secara bersama. Entah mengapa, saya bisa merasakan apa yang tokoh itu rasakan. Padahal, ulang tahun saya tidak pernah dirayakan secara bersama kakak, jarak ulang tahun kami tepat berbeda sebulan.
Akhirnya, saya menonton drama Reply 1988 di Netflix dari episode 1 sampai 20. Setiap episodenya, saya selalu menitikkan air mata. Namun, saya kurang suka dengan ending-nya karena lebih fokus pada kisah cinta Bora dan Sunwoo, bukan pada pemeran utama—Deoksun, Taek, dan Junghwan. Walaupun begitu, saya suka sekali dengan ceritanya. Saya merasa seperti berada di lingkungan Ssangmun-dong. Berteman dengan tetangga dan asal masuk ke rumah tetangga adalah hal-hal yang pernah saya alami saat kecil, sekitar tahun 2000-an. Namun, hal itu sudah tak saya alami lagi sejak saya SMP karena tetangga sudah punya kesibukan dan teman masing-masing.
Menonton drama Korea membuat saya ketagihan. Saya jadi menonton beberapa drama, seperti Crash Landing On You, Hospital Playlist, dan It's Okay to Not Be Okay—yang menjadi drama favorit saya sampai saat ini. Drama It's Okay to Not Be Okay diperankan oleh Kim Soo Hyun sebagai Moon Gang-tae, Seo Yea-ji sebagai Ko Moon-yeong, dan Oh Jung Se sebagai Moon Sang-tae.
Poster It's Okay to Not Be Okay Sumber: https://www.instagram.com/soohyun_k216/ |
It's Okay to Not Be Okay menceritakan seorang perawat bernama Moon Gang-tae yang memiliki kakak autis bernama Moon Sang-tae. Selama hidupnya, Gang-tae dan Sang-tae sering berpindah tempat saat musim semi karena ketakutan mereka pada masa lalu. Di sebuah acara di rumah sakit jiwa, Gang-tae bertemu Moon-yeong yang ternyata adalah gadis yang ia sukai sejak kecil. Gang-tae, Sang-tae, dan Moon-yeong punya luka terhadap masa lalu mereka masing-masing, yang tanpa sadar mereka saling terkait untuk menyembuhkan diri mereka.
Saya suka drama Korea ini, mulai dari segi cerita, dialog, penokohan, visual, dan latar lagu. Dari segi cerita, banyak pelajaran mengenai psikologi yang bisa saya terapkan sehari-hari. Salah satunya adalah metode butterfly hug apalagi sedang sedih. Kalau sedih, saya menggunakan metode ini untuk mem-"puk-puk"-an diri sendiri sambil mengatakan hal-hal baik kepada tubuh saya. Lalu, ada juga dialog Gang-tae kepada Moon-yeong yang mengatakan, "Kalau sedang meledak-ledak, hitung sampai tiga untuk menahan emosi". Saya juga menerapkan itu apabila mulai merasa marah. Tak hanya cerita, sinematografi dan latar lagu turut mendukung drama ini menjadi drama yang keren—bagi saya. Teman-teman yang sedang membaca mungkin kalian perlu menonton drama ini, terutama episode 15, karena mata kalian akan sangat dimanjakan. Saya sangat terpukau di episode 15. Latar lagunya juga easy listening untuk saya, salah satu favorit saya adalah "Breath" yang dinyanyikan oleh Sam Kim.
Cuplikan Gambar Episode 15: Tale of Two Brothers Sumber: https://twitter.com/kdramasnail/status/1292075423321399297?s=19 |
Drama ini membuat saya sadar kalau tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja. Banyak dari sekitar saya mungkin berusaha untuk terlihat baik-baik saja, padahal ada sesuatu yang sedang dipikirkan. Saat saya menonton drama ini, sejujurnya hati saya sedang gundah mengingat pandemi tak terlihat ingin berakhir. Mungkin, tidak saya saja yang merasakan seperti ini. Saya belajar untuk menerima apa yang saya rasakan, tanpa perlu defensif terhadap perasaan buruk. Perasaan sedih dan marah saya terima dan perlu dikeluarkan. Biasanya, saya akan menangis sebelum tidur, berdoa, atau menggunakan metode butterfly hug untuk meredakan perasaan negatif. Saya juga sadar bahwa perasaan negatif muncul karena pikiran saya sendiri. Perasaan negatif menguat karena akumulasi terhadap hal-hal yang terjadi di masa lalu dan masa yang sekarang saya jalankan.
Tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja.
Persetan dengan rasa kuat, apalagi di tengah pandemi seperti ini. Waras saja cukup.
Ditulis pada 24 September 2020 pukul 11.32