Pada tahun 2015, saya mengalami banyak kejadian yang tidak bisa saya lupakan--lulus SMA, menjadi mahasiswa UI, kecelakaan motor bersama sepupu, dan operasi tumor. Operasi tumor menjadi pengalaman pertama saya sebagai pasien rawat inap di rumah sakit--pertama kali diinfus, dioperasi, dan menginap di rumah sakit. Awalnya, saya tidak menyadari ada tumor di tubuh saya.
Setiap akhir pekan, saya sering bersantai di ruang TV. Biasanya, saya suka menidurkan kepala di sandaran sofa. Namun, saya merasa ada sesuatu yang janggal di kepala saya. Setiap saya bersandar, kepala saya seperti besar sebelah. Saya meraba kepala bagian belakang yang dekat dengan leher. Saat itu, saya agak kaget karena ada benjolan besar di kepala.
Hampir setengah tahun saya memendam kegelisahan saya kepada orang tua. Saya tetap berpikir positif bahwa benjolan tersebut karena kenakalan saya waktu kecil. Saya berpikir, dulu pernah jatuh sehingga menimbulkan benjolan di kepala. Akan tetapi, saya akhirnya bertanya kepada ibu saya mengenai benjolan tersebut. Begini kira-kira percakapannya.
"Mami, waktu kecil aku pernah jatuh, ya? Pegang deh kepalaku."
Saya membantu ibu untuk meraba kepala saya. Tiba-tiba, ibu saya langsung menjerit karena kaget. Saya pun ikut terkejut.
"Astagfirullah. Ini apa?"
Dari situ, saya semakin takut. Sebenarnya, benjolan apa ini? Ternyata, saya tidak pernah jatuh. Kalau pun jatuh, benjolannya tidak akan sebesar ini. Begitu kira-kira kata ibu saya.
Benjolan pada kepala saya kalau ditekan sangat lunak, tetapi tidak sakit. Benjolan cukup besar, kira-kira sebesar telur ayam. Saya tidak tahu warna benjolan seperti apa karena tertutup oleh rambut. Walaupun tidak sakit, benjolan tersebut cukup mengganggu saya apabila saya terlentang. Rasanya, seperti ada yang mengganjal kepala.
Ibu dan bapak membawa saya ke klinik. Dokter yang menjaga sudah kenal dengan keluarga kami--kakak saya yang paling diingat olehnya karena pada usia 14 tahun, kakak mengidap darah tinggi. Setelah diperiksa dokter, beliau berkata bahwa benjolan tersebut adalah tumor. Saya, ibu, dan bapak sangat terkejut. Hal yang lebih mengejutkan lagi buat saya adalah tumor tersebut harus diangkat atau dioperasi.
Sesampainya di rumah, saya benar-benar terdiam memikirkan hidup. Pikiran saya kacau karena masalah kesehatan dan sebentar lagi harus menghadapi Ujian Nasional SMA. Ibu bilang, saya tidak perlu memikirkan tumor. Setelah ujian, ibu dan bapak akan mencari cara untuk menyembuhkan penyakit saya.
Beberapa hari setelah ujian dan mengikuti rangkaian mahasiswa baru, ibu dan bapak membawa saya ke dokter lain di klinik dekat rumah. Dokter tersebut juga mengatakan bahwa benjolan pada kepala saya adalah tumor. Namun, beliau lebih membuat saya takut. Ia tidak tahu tumor tersebut berada di mana, apakah di dalam atau di luar batok kepala. Ia juga tidak tahu apakah tumor tersebut ganas atau tidak. Saya semakin was-was dibuatnya.
Setelah itu, bapak mendapat rekomendasi dari temannya untuk membawa saya ke dokter penyakit dalam di Pelayanan Kesehatan St. Carolus, Cikini. Pada hari Sabtu, 12 September 2015, saya dan kedua orang tua datang ke dokter penyakit dalam. Awalnya, saya harus melakukan CT Scan. Namun, karena posisi tumor berada di kepala, saya melakukan USG (Hehe. Biasanya, USG-kan buat ibu hamil). Setelah di USG, terlihat bahwa posisi tumor berada di luar batok kepala.
Menurut dokter penyakit dalam, operasi harus tetap dilakukan. Beliau takut nantinya tumor tersebut semakin besar dan menjepit saraf saya. Namun, saya ketakutan. Saya tidak pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya, apalagi menjalani operasi. Dokter tersebut sempat "membentak". Katanya, kalau saya ingin sembuh, saya harus operasi. Dari situ, saya memiliki keberanian untuk operasi. Saya pun direkomendasikan ke dokter bedah.
Hari Selasa, 15 September 2015, saya mengikuti rangkaian kegiatan yang harus dilakukan sebelum operasi, seperti tes laboratorium. Saya cek darah dan urin. Setelah itu, saya membuat janji dengan dokter bedah agar melaksanakan operasi pada hari Jumat. Hmm, rasanya cepat sekali. Selama dua hari, saya harus mempersiapkan fisik maupun mental untuk menjalankan operasi pertama saya. Sejujurnya, saya cukup gelisah, apalagi operasi dilakukan di kepala yang menjadi pusat dari seluruh tubuh.
Kamis malam, saya menyempatkan diri untuk bertemu teman-teman angkatan yang sedang latihan Petang Kreatif, teater tahunan yang diadakan di kampus. Pada malam itu, teman-teman berdoa untuk kesembuhan saya. Saya cukup terharu waktu itu. Sebelum operasi, saya juga harus berpuasa. Saya berhenti makan dan minum pada pukul 21.00. Saya juga menyempatkan diri untuk video call dengan pacar--eh, mantan--yang jauh di luar kota. Maklum, saat itu saya tengah pacaran jarak jauh. Sebelum tidur saya berdoa, seolah-olah esok adalah hari terakhir saya. Tidak ada yang tahu, kan, bagaimana hasilnya? Saya hanya berharap, Tuhan memberi yang terbaik untuk saya.
Jumat, 18 September 2015 pada pukul 06.00, saya sudah bersiap. Saya diantar oleh bapak, ibu, dan bude ke rumah sakit. Operasi dilaksanakan pukul 09.00. Sebelumnya, saya salim kepada kedua orang tua dan bude. Saya memohon doa dan maaf. Setelah itu, saya mengganti baju khusus dan melepas segala aksesoris. Saya tiduran di ranjang pasien. Ranjang tersebut memasuki ruang operasi. Saat itu, yang saya lihat hanya dokter dan timnya. Dokter berkata, "Kamu kuat, Mbak. Istigfar terus, ya."
Setelah itu, saya tidak mengingat apa-apa. Sebelum dioperasi, saya dibius total. Dokter bilang, saya dioperasi selama satu jam lebih tiga puluh menit. Saat membuka mata, yang saya temukan adalah seorang perawat yang sedang mengecek tensi. Kondisi saya sangat lemah. Saya juga baru menyadari bahwa saya sedang menggunakan alat-alat, seperti alat pernapasan, pulse oximeter (alat yang dijepit di ibu jari), infus yang berada di punggung tangan kanan, alat tensi di lengan kanan atas, dan sebagainya.
Ngomong-ngomong, saya belum menjelaskan tumor yang berada di kepala saya. Tumor tersebut adalah tumor lipoma. Menurut dr. Marianti (dalam laman https://www.alodokter.com/lipoma), tumor lipoma adalah tumor jinak berbentuk benjolan lemak. Tumor ini memang tidak berbahaya dan tidak sakit, tetapi berpotensi untuk membesar dan membuat pasien menjadi sakit. Selengkapnya, mungkin bisa dibaca pada laman tersebut. Pada kasus saya, setelah dikeluarkan, tumor itu seperti lemak ayam. Isi tumor yang bercampur darah itu dimasukkan ke dalam botol kecil. Sayang sekali fotonya sudah tidak ada di ponsel atau komputer saya. Mungkin, ada di ponsel ibu (nanti saya akan unggah apabila saya menemukan foto isi tumor yang telah dikeluarkan).
Kemudian, ibu datang menemui saya. Ia berkata, rambut saya sudah dibotak sebelah. Botaknya juga telah ditutup perban. Saya sejujurnya sangat sedih karena sebagian rambut panjang saya harus dihabiskan. Walaupun saya berhijab, saya memang suka memainkan rambut. Saya tidak suka berambut pendek. Namun, saya lega karena ternyata saya masih hidup.
Keadaan saya setelah operasi di ICU. |
Saya masih berada di ICU (atau ruangan setelah operasi--saya lupa). Kamar rawat belum juga tersedia karena dokter yang membedah saya telah pulang terlebih dahulu. Padahal, untuk mendapatkan kamar rawat, saya membutuhkan persetujuan dari beliau. Saya menunggu hampir empat jam. Di sisi lain, saya memiliki hasrat ingin buang air kecil (karena ruangan sangat dingin). Namun, saya tak boleh turun dari tempat tidur. Suster membantu saya menggunakan pispot. Akan tetapi, saya tidak bisa buang air kecil di pispot. Akhirnya, suster menuntun saya ke kamar mandi.
Saya menginap semalam di PK St. Carolus, Cikini. Pelayanannya sangat baik. Setiap tiga jam sekali, seorang perawat selalu datang untuk mengecek keadaan saya. Selain itu, saya cukup terharu karena sahabat saya, Assyifa, menemani saya selama di rumah sakit--dari selesai operasi sampai malam hari. Ia merelakan waktunya setelah kuliah di UI, Depok, menuju ke Cikini agar menemani saya di rumah sakit. Orang tua dan bude saya turut menemani. Beberapa saudara dan tetangga juga menjenguk padahal saya hanya menginap semalam di rumah sakit. Terima kasih banyak. :)
Saya bersama Syifa di ruang rawat. |
Keadaan saya satu hari setelah operasi. |
Keesokan harinya, saya diizinkan untuk pulang ke rumah. Saya juga disuruh izin tidak kuliah selama satu minggu oleh pihak rumah sakit. Saya meninggalkan kuliah selama satu minggu penuh. Namun, beberapa teman tetap perhatian pada saya. Mereka selalu memberikan kabar apabila ada tugas atau materi kuliah.
Yang paling membuat saya terharu adalah sepupu saya. Ia selalu mau saya repotkan selama saya beristirahat di rumah. Sepupu saya--Aji, namanya--membelikan saya buku kuliah, yakni buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Lalu, ia mengantarkannya ke rumah. Bentuk perhatian lainnya adalah tiba-tiba ia sudah berada di depan rumah dan membawa makanan favorit saya. Lucu, ya?
Foto ini saya temukan di Path. Syifa membantu Aji agar saya bisa keluar menemuinya di depan rumah. Kemudian, Aji datang dan membawakan fettucini. Hahaha. |
Foto saya bersama Aji beberapa bulan pascaoperasi. |
Setelah operasi, keadaan saya mulai membaik. Saya dapat beraktivitas lagi seperti sebelum-sebelumnya. Dalam beberapa bulan, bekas operasi memang masih sedikit nyut-nyutan. Selama hampir dua bulan, setiap minggu saya ke dokter untuk mengecek bekas operasi di kepala. Bekas operasi itu tidak dapat lagi ditumbuhi rambut. Selain itu, sampai sekarang, kadang-kadang bekas itu masih suka gatal di kepala. Alhamdulillah-nya, sejauh ini, operasi tersebut tidak memberikan efek negatif pada tubuh saya.
Orang tua, keluarga, dan sahabat adalah kekuatan saya sehingga saya berani untuk melakukan operasi tumor. Mereka selalu ada dan berdoa untuk kesehatan saya. Selain itu, saya juga mendapat kekuatan dari seorang senior yang baru saya kenal beberapa bulan. Namanya, Kak Dilla (IKSI 2012). Ia tiba-tiba saja mengirimkan pesan singkat pada pagi hari menjelang saya operasi. Begini pesannya.
"Tetaplah berhuznuzhan pada-Nya, insyaAllah ada jalan terbaik yang dipilihkan oleh-Nya. Allah akan selalu menyayangimu lebih dari yang kamu perlu. Kesehatanmu jauh lebih penting. Semoga tetap dikuatkan."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar