Pada tahun 2017, saya menjadi orang yang sangat sibuk: ikut kepanitiaan, ikut organisasi, urus ini urus itu, belum lagi keperluan akademis yang hampir membuat saya gila. Rasanya, bukan mahasiswa kalau sudah pulang siang-siang. Saya minimal baru pulang pukul 20.00 dari kampus atau paling malam pukul 22.00 atau bahkan lebih baik menginap saja di indekos teman. Mengapa harus pulang malam? Lagi-lagi keperluan akademis dan nonakademis yang harus saya jalankan. Akan tetapi, setiap hari tak melulu soal dua hal itu. Berlama-lama di kampus sangatlah asyik. Hal itu membuat saya memiliki hobi baru: nongkrong di kampus bersama teman-teman.
Banyak hal yang sering dibicarakan saat nongkrong, mulai dari hal serius--politik kampus, filosofi kehidupan, mau jadi apa setelah sarjana--sampai hal receh--kegiatan sehari-hari, keluhan karena jenuh kuliah, keinginan punya pacar, menertawakan kebodohan sendiri. Bagi saya, belajar tak hanya dari kelas saat kuliah. Nongkrong pun membuat saya belajar. Seringkali, tongkrongan membuka mata saya tentang hidup. Bahkan, beberapa teman mengatakan pada saya kalau saya mengalami perubahan. Dulunya, saya terlihat lemah dan selalu mengiyakan kemauan orang. Sekarang, saya sangat kuat, galak, dan berani berpendapat. Apakah itu perubahan yang positif? Entahlah. Namun, saya bersyukur punya tongkrongan yang mengubah perspektif saya tentang hidup: tidak semua terlihat baik adalah orang baik, tetapi tidak semua terlihat jahat adalah orang jahat. Aneh, ya?
Prinsip tongkrongan saya adalah "kalau sama manusia memang seharusnya suuzon, kalau sama Tuhan baru deh husnuzon". Mungkin, saya perlu meralat prinsip tongkrongan ini. Kami tidak suuzon kepada manusia, tetapi waspada. Hal itu disebabkan tidak semua orang di dunia ini bisa dipercaya. Teman saja bisa mengkhianati kita, apalagi orang lain?
Setelah masa-masa sibuk saya berakhir, tongkrongan terasa beda. Penghuni tongkrongan sudah memiliki rencana-rencananya masing-masing. Ada yang fokus kuliah karena mengejar ketertinggalan, ada yang mencari uang karena merasa pemasukan tidak sebanding dengan kebutuhan, dan ada juga yang fokus skripsi karena ingin segera menyandang gelar baru.
Akan tetapi, rasa tongkrongan menjadi pudar. Kalau pun nongkrong, rasanya benar-benar tidak sama. Saya merasa asing di tongkrongan sendiri. Pembicaraan pun tak lagi satu frekuensi walaupun sebenarnya masih ada beberapa jokes yang bisa ditertawakan bersama. Saya sudah lama meninggalkan tongkrongan karena kadang-kadang saya tidak punya tujuan nongkrong. Beberapa teman masih berada di tongkrongan. Saya tidak benci atau bukannya tidak suka berada di tongkrongan, hanya saja rasanya beda.
Entah ini siapa yang berubah: saya ataukah tongkrongan?
Namun, saya bersyukur. Teman-teman tongkrongan tidak pernah meninggalkan saya. Mungkin, memang sudah bukan masanya lagi untuk berada di tongkrongan. Semua orang sudah punya rencana masing-masing, begitu pula dengan saya. Prioritas pun bukan lagi tongkrongan. Saya masih punya tanggung jawab sebelum saya punya tongkrongan: menyelesaikan studi strata satu.
Mungkin tongkrongan sudah mulai berubah, tetapi mereka tidak pernah benar-benar berubah. Mereka akan tetap selalu ada menjadi "rumah" untuk saya pulang setelah berkelana ke mana-mana. Selamat meraih asa! Jangan lupa kembali pulang. Telinga saya siap mendengarkan perjalanan kalian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar