Sabtu, 23 Maret 2019

Happier

The story inspired from Ed Sheeran's song when I heard it through Prambors Radio.


Walking down 29th and park
I saw you in another's arms
Only a month we've been apart
You look happier

Kami memutuskan untuk putus setelah lima tahun berpacaran. Aku teringat malam itu di sebuah kafe, tempat pertama kali aku menyatakan cinta padanya. Kami sudah tidak datang ke kafe secara bersamaan. Aku datang sendiri, begitu pula dengannya. Ia datang dengan air muka yang datar, tidak ada senyum terulas dalam wajahnya. Ia bilang, aku berubah. Namun, aku tak pernah mendapatkan kejelasan apa yang berubah dalam diriku. Sejak itu, kami putus. Hanya karena aku berubah, katanya.

Rasanya hidupku buram. Dalam menjalani hari demi hari, aku merasa kesulitan. Bahkan, tak jarang aku berkelana keliling kota Bandung untuk melenyapkan perasaan risau dalam hatiku. Mengapa bisa ia meninggalkanku setelah kami bersama selama lima tahun? Alasannya pun hanya karena aku berubah. Bukankah setiap manusia berhak untuk berubah? Sejak bekerja, aku memang jarang memiliki waktu bersama pacarku. Ralat, mantan pacarku. Aku memang sibuk meeting dan pergi keluar kota atas perintah bosku. Ya, menurutku itu hal wajar. Aku tak bisa terus-menerus bersama pacarku. Aku punya tanggung jawab terhadap hidupku sendiri: bekerja-mendapatkan penghasilan-menata masa depan. Toh, aku melakukan semua ini demi masa depanku dan dia.

Aku memarkirkan vespaku di depan minimarket. Tiba-tiba aku ingin minum. Sambil meminum air mineralku, mataku tertuju pada sebuah mobil audi yang baru saja parkir di depan sebuah restoran mewah. Aku membulatkan mataku ketika melihat orang yang keluar dari mobil itu: seorang laki-laki dan perempuan. Mereka berpegangan tangan mesra layaknya sepasang kekasih. Rasanya hidup hanya milik mereka berdua. Bahkan, mereka tak malu untuk saling mencium dan berpelukan. Aku berusaha meyakinkan diriku sendiri. Sedari tadi, napasku tertahan begitu melihat perempuan itu keluar dari mobil audi itu. Perempuan itu... mantan pacarku.

Baru satu bulan kami berpisah, apakah semudah itu melupakanku?

Saw you walk inside a bar
He said something to make you laugh
I saw that both your smiles were twice as wide as ours
Yeah you look happier, you do

Ain't nobody hurt you like I hurt you
But ain't nobody love you like I do
Promise that I will not take it personal baby
If you're moving on with someone new

Sepasang kekasih itu memasuki restoran termewah di Bandung. Untung saja aku selalu membawa topi dan kacamata hitam di ransel. Kugunakan topi dan kacamata lalu diam-diam aku mengikuti mereka. Mereka mengambil tempat di sofa melingkar dan duduk berdekatan, layaknya amplop dan perangko yang tak mau saling melepas. Aku pun duduk dengan jarak tiga meja dari mereka. Keduanya saling bertatapan penuh arti. Sesekali, mantan pacarku itu tersenyum dan tertawa. Tawanya masih seperti yang dulu, renyah dan manis. Matanya berbinar-binar mendengarkan lelaki yang ada di sampingnya. Aku bahkan tak pernah melihat binaran mata itu saat bersamaku. 

Tiba-tiba, lelaki itu meninggalkan mantan pacarku. Entah dia pergi ke mana. Hatiku berkata, aku harus segera menemui mantan pacarku. Namun, otakku berkata tidak. Aku dan mantan pacarku memang memutuskan hubungan. Aku tak tahu apakah perpisahan kami bisa dikatakan baik-baik atau tidak. Yang jelas, ia bilang aku tak perlu menghubungi atau menemuinya lagi. Kami juga saling menghapus pertemanan di media sosial. Akan tetapi, ia juga bilang bahwa aku akan selalu jadi teman baiknya. Hahaha. Omong kosong macam apa itu? 

Setelah hampir lima menit aku merenung, kuputuskan untuk menemui mantan pacarku. Saat aku berdiri, tiba-tiba lampu di restoran termewah itu mati. Satu restoran bergemuruh. Aku kembali terduduk karena tak mampu melihat apa pun. Namun, ada sebuah sinar kuning yang menyorot sosok lelaki dengan sebuah gitar di dadanya. Laki-laki itu, kan, yang bersama mantan pacarku tadi? Mau apa dia? Jadi pahlawan bergitar?

Petikan gitar mengalun dengan indah. Alunan tersebut lebih indah lagi karena diikuti suara lelaki yang tak kalah merdunya. Lelaki itu terus melangkah ke arah mantan pacarku tanpa melepas tatapannya. Mantan pacarku? Ia terlihat kaget, tetapi diiringi dengan senyum lebar yang terulas di wajahnya. Basi banget! Maksudnya, lelaki itu mau sok-sokan beromantis ria dengan mantan pacarku? 

Restoran termewah di Bandung itu menjadi terkesan romantis dengan lampu redup yang menyala. Aku dapat melihat adegan sepasang insan (yang sebenarnya terlihat seperti kekasih) itu kini menjadi pusat perhatian pengunjung restoran. Setelah bernyanyi, lelaki itu berlutut di hadapan mantan pacarku. Aku semakin mengernyitkan dahi. Sebenarnya, lelaki itu mau apa, sih?

Tiba-tiba, hatiku terasa ditusuk oleh ribuan jarum mendengar permintaan lelaki itu pada mantan pacarku. Aku bisa mendengar sorak-sorak pengunjung restoran untuk mendukung lelaki itu. Kali ini bukan lagi ribuan jarum yang menyerang hatiku. Akan tetapi, berliter-liter jeruk nipis telah dibalurkan di luka hatiku begitu melihat senyum yang merekah di wajah perempuan itu. 

Seharusnya, senyum itu milikku.

Cause baby you look happier, you do
My friends told me one day I'll feel it too
And until then I'll smile to hide the truth
But I know I was happier with you

"Bae, menikahlah denganku."

Sekarang, aku tahu mengapa mantan pacarku memutuskan hubungan kami. Aku pun masih mengingat betul permintaan lelaki itu pada mantan pacarku di restoran. Sorak-sorak pengunjung masih terngiang-ngiang begitu mantan pacarku menjawab permintaan lelaki itu. 

Aku juga baru menyadari. Selama lima tahun kami bersama, aku tak pernah membicarakan masalah pernikahan kepada mantan pacarku. Bahkan, aku terkesan abai padanya. Aku tak heran apabila mungkin ia mempertanyakan keseriusanku. Aku terlalu egois. Beralasan memikirkan masa depan tetapi melupakan masa sekarangku. 

Mantan pacarku, yang selalu menjadi masa lalu manisku, sudah bahagia sekarang dengan lelaki pilihannya. Aku pun akan begitu.

***
19 Oktober 2018.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar