Jumat, 16 Agustus 2019

Menulis Tugas Akhir

Mahasiswa tingkat akhir di FIB UI diminta untuk menulis skripsi atau jurnal untuk mendapatkan gelar sarjana humaniora. Namun, angkatan saya-- angkatan 2015--menjadi angkatan pertama yang tidak menulis skripsi atau jurnal untuk menjadi sarjana humaniora.
Sejak beredarnya Keputusan Dekan FIB UI Nomor 404/UN2.F7.D/HKP.02.04.05/2017 tentang Pedoman Pelaksanaan TA Program Sarjana FIB UI, mahasiswa FIB UI  angkatan 2015 diminta untuk membuat tugas akhir (TA). Tugas akhir berbeda dengan skripsi atau jurnal. Perbedaan yang paling terlihat adalah kuantitasnya. Tugas akhir dibatasi dengan jumlah kata, yakni sekitar 5000--7000 kata, dan jumlah halaman, yakni sekitar 25--30 halaman. Walaupun demikian, kualitas tugas akhir tak kalah dengan skripsi. Tugas akhir ini bisa diajukan ke konferensi untuk diterbitkan di dalam jurnal-jurnal internasional.

Saya tidak memiliki bayangan apa pun mengenai TA. Arahan dari prodi juga masih belum jelas--mengingat kami angkatan pertama yang mengerjakan TA. Dosen-dosen juga masih mempelajari bagaimana konsep penulisan TA. Namun, semoga tulisan ini dapat memberikan pencerahan bagaimana saya membuat TA.

Kumpul Angkatan
Pada tanggal 23 Januari 2019, Prodi Indonesia mengumpulkan kami untuk memberi arahan mengenai langkah apa saja yang harus kami lakukan. Saat itu, kami hanya diberi tahu bayangan seputar isi TA dan penentuan tenggat waktu proposal TA. Setelah itu, mahasiswa yang mengambil peminatan linguistik diminta untuk berkumpul di lain kelas. Kami, satu per satu, ditanyakan topik apa yang akan diambil. Hari itu, saya mengajukan dua topik: analisis humor radio dan analisis UU ITE. Kedua topik itu ditolak karena dirasa sudah terlalu banyak yang membahas. Down? Tentu. Rasanya, hari itu berhenti.

Pengajuan Proposal
Pencarian topik TA tentu tidaklah mudah. Saya sering melakukan riset, tetapi benar-benar tidak mendapatkan inspirasi. Saya sempat mengalami stres hingga tak mau berkomunikasi dengan siapa pun. Saya teringat bahwa TA bisa dari tugas UAS yang pernah dibuat. Suatu hari, saya membuka file UAS Korespondensi Bahasa Indonesia. Akhirnya, saya terinsipirasi untuk membahas surat pemerintahan. Setelahnya, saya riset ke ANRI untuk melihat-lihat surat pemerintahan. Saat itu, saya melihat keunikan penulisan surat dari tahun ke tahun. Hal itu membuat saya mengambil topik perkembangan bahasa dalam surat pemerintahan. Kemudian, saya mengajukan topik itu kepada Ibu Niken selaku koordinator peminatan linguistik. Beliau menerima topik saya, bahkan memberi beberapa saran. Terima kasih, Ibu!

Dua hari menjelang pengumpulan proposal, saya baru mulai menyusunnya. Di dalam proposal, saya harus memaparkan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian terdahulu dan teori apa saja yang akan saya gunakan, contoh analisis, linimasa pengerjaan TA, kesimpulan sementara, serta daftar referensi yang sekiranya akan saya gunakan. "PR" saya sangat banyak apabila dibandingkan dengan teman-teman yang sepertinya sudah lebih jauh melangkah. Saya sempat frustasi, tetapi saya berusaha untuk menyelesaikan proposal sebaik-baiknya. Setiap hari, teman-teman angkatan dan juga para dosen selalu memberi semangat melalui pesan singkat di grup WhatsApp atau LINE. Terima kasih atas suntikan semangatnya sehingga saya berhasil menyelesaikan proposal!

Bimbingan
Setelah pengajuan proposal, para mahasiswa mendapatkan dosen pembimbing untuk diberikan arahan selama penulisan TA. Dosen pembimbing juga menjadi corresponding author atau penulis kedua sehingga para mahasiswa tidak perlu takut atas kualitas tulisan yang mereka buat. Saya dibimbing oleh salah satu ahli linguistik forensik di Indonesia, yaitu Pak Frans Asisi Datang. Sejujurnya, ada rasa bangga, takut, dan tegang. Bangga karena saya merasa dibimbing oleh orang yang tepat. Namun, saya takut tidak bisa memenuhi ekspektasi Pak Frans dengan tulisan saya. Saya terlalu takut mengecewakan beliau.

Bimbingan pertama dimulai pada tanggal 18 Februari 2019. Saya sudah datang sejak pukul 09.00, sedangkan bimbingan baru dimulai sekitar 14.30. Perasaan saya campur aduk saat Pak Frans membaca proposal di depan saya. Setelahnya, ia memberi beberapa saran agar tulisan saya lebih terarah. Saya lega karena beliau berkata tulisan saya enak dibaca. Hari itu, saya merasa selamat.

Bimbingan-bimbingan selanjutnya, saya selalu merasa was-was. Saya pasti sudah datang satu jam sebelum jadwal bimbingan. Biasanya, saya duduk di depan taman Gedung II FIB UI untuk menenangkan diri dan mengingat-ingat apa saja yang harus saya tanyakan. Saya sering cemas karena terlalu sering bingung dan takut membuatnya sebal. Apakah kalian pernah merasakan hal ini: ketika bimbingan, sudah paham; sampai di rumah, kembali bingung? Ya! Itulah saya.

Hampir setiap minggunya, saya selalu bimbingan yang diawali dengan "Pak, saya bingung, Pak!". Untungnya, Pak Frans selalu berbaik hati menjelaskan kebingungan-kebingungan saya. Selain itu, saya juga merasa topik yang saya angkat terlalu kecil dan receh. Sering kali, teman-teman bercerita bagaiman hebatnya topik mereka sehingga membuat saya merasa kerdil. Akan tetapi, mungkin itu hanya perasaan saya saja. Pak Frans juga berhasil meyakinkan saya bahwa topik yang saya angkat cukup menarik dan penting untuk dibahas. Terima kasih, Pak, telah membangkitkan kepercayaan diri saya!

Hal yang menyusahkan selama mengerjakan TA adalah pengambilan data. Selama tiga minggu berturut-turut, saya harus ke Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk mengambil data. Pelayanan ANRI sangatlah memuaskan karena petugas-petugasnya selalu ramah kepada pengujung. Namun, data ANRI tidak bisa sembarangan dikeluarkan sehingga kadang-kadang saya harus menunggu cukup lama. Data yang ditawarkan juga sangat banyak dan bervariasi sehingga saya lumayan sulit dan pusing memilih data. Setelah tiga minggu yang cukup melelahkan karena harus bulak-balik Condet-Ampera, enam belas surat pemerintahan didapatkan dan diterima sebagai data TA saya.

Kolokium
Setelah dua bulan pengerjaan TA, prodi meminta kami untuk melaporkan hal apa saja yang sudah dikerjakan. Tahap ini disebut dengan kolokium. Saya tidak paham bagaimana konsep kolokium yang sebenarnya. Namun, yang saya alami adalah saya mengumpulkan draf TA dan mendapatkan feedback dari pembaca TA--dalam skripsi, pembaca disebut dengan penguji. Jadi, saya sudah mendapatkan kritik dan saran dari pembaca pada setengah perjalanan penulisan TA. Pembaca TA saya adalah Prof. Multamia Lauder dan Prof. Riris Sarumpaet. Semakin tegang, bukan? TA saya diuji oleh dua guru besar dari dua departemen yang berbeda. Akan tetapi, saya jadi merasa spesial karena TA saya bisa diuji oleh dua profesor. Di angkatan saya, saya mahasiswa satu-satunya, loh, yang diuji oleh dua guru besar!

Pada hari pertama kolokium, saya bertemu Prof. Mia di pantry Gedung III FIB UI. Beliau memberi beberapa saran mengenai alur penulisan TA dan beliau cukup puas dengan tulisan saya. Bukan main leganya! Sementara itu, saya bertemu Prof. Riris pada hari keempat kolokium. Saya--bersama Tatiek--bertemu Prof. Riris di ruangannya. Beliau memberi beberapa poin yang harus saya pikirkan: apa urgensi penelitian ini? apa itu linguistik forensik? Beliau juga berkata bahwa sebagai peneliti, kita harus memikirkan bahwa orang awam tidak tahu apa-apa soal tulisan kita sehingga kita perlu menjelaskan sejelas-jelasnya.

Setelah mendapatkan feedback dari kedua pembaca, saya kembali bimbingan dengan dosen pembimbing. Beberapa feedback kami cermati agar membuat tulisan kami menjadi lebih baik. Selain itu, saya melanjutkan analisis saya yang belum selesai. Waktu itu, saya hanya punya satu bulan sebelum pengumpulan TA fiks. Kalau dihitung-hitung, selama tiga bulan setengah, saya bimbingan kurang lebih sebanyak 10 kali pertemuan. Cukup panjang dan melelahkan, bukan?

Sampai akhirnya, TA saya selesai. Pada 17 Juni 2019, saya mengumpulkan tiga rangkap TA di meja kaprodi. Ada perasaan lega, tetapi ada rasa takut juga. Tahap selanjutnya adalah ujian tugas akhir atau sidang. Kami menunggu selama satu minggu untuk mengetahui jadwal sidang. Yang lebih kami takutkan adalah prodi tidak memberi tahu apa-apa bagaimana proses sidang karena kami bukan sidang skripsi melainkan ujian tugas akhir. Treatment yang dilakukan pun pasti berbeda.

Perasaan lega hanya berlangsung selama satu malam. Setelahnya, saya dan teman-teman saling bercerita bahwa hanya bisa takut dan pasrah untuk menghadapi ujian tugas akhir yang entah kapan dan bagaimana nantinya. Namun, saya cukup terdistraksi karena saya dan beberapa teman ditawarkan mengajar Bahasa Indonesia dalam kelas Reading Skill untuk mahasiswa baru UI angkatan 2019. Kelas tersebut merupakan salah satu kelas dalam program Orientasi Belajar Mahasiswa Baru.

Lalu, bagaimana dengan ujian tugas akhir? Tunggu di tulisan berikutnya, ya!

Kalian tahu apa yang saya dapatkan selama menulis tugas akhir? Sabar. Sabar mencari data, sabar membaca data, sabar membaca sumber referensi, sabar menganalisis data, sabar mencari inspirasi dalam menulis, sabar menunggu dosen pembimbing, sabar menghadapi kebuntuan dalam menulis, dan sabar melihat instastory teman-teman yang sering mengerjakan tugas di kafe-kafe sambil ngopi-ngopi cantik sedangkan saya hanya bisa mengerjakan di rumah karena tidak punya uang untuk ngopi-ngopi lucu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar