Senin, 02 Desember 2019

Ujian Tugas Akhir

Kamu bisa membaca cerita sebelumnya di sini.

Prodi Indonesia menginformasikan bahwa sidang atau ujian tugas akhir diadakan pada akhir Juni dan awal Juli. Saat membaca pengumuman jadwal sidang, kami menyebutnya "sidang massal". Hal itu karena dari 39 calon sarjana, 31 calon melaksanakan sidang pada tanggal yang sama, yakni 1 Juli 2019. Sisanya melaksanakan sidang pada tanggal 26--27 Juni dan 2 Juli 2019. Setiap peserta hanya diberi waktu tiga puluh menit untuk sidang. Bagaimana bisa?

Melihat jadwal sidang yang terlalu mepet dan cepat, saya sempat ragu. Apakah ini sidang sungguhan? Bagaimana bisa kami hanya ujian selama tiga puluh menit saja? Namun, ujian tugas akhir ini memiliki proses yang berbeda. Kami, sebagai calon sarjana, tidak perlu membuat presentasi, bahkan tidak perlu mempresentasikan hasil tulisan. Selain itu, kami hanya akan diberi kritik dan saran selama proses ujian. Terdengar aneh, bukan?

Tanggal 1 Juli 2019, saya mendapatkan giliran terakhir. Saya akan menjadi penutup sidang pada hari itu. Jadwal sidang dimulai pukul 08.00 dan berakhir pukul 14.00. Walaupun jadwal sidang saya pukul 13.30, saya datang pukul 08.00 diantar oleh Papi. Saya memang ingin datang pagi-pagi karena mau melihat teman-teman yang sidang duluan.

Ketika saya dan Nadya datang, Adinda--sebagai orang pertama yang sidang--sudah keluar dari ruang sidang. Saya, sebagai peserta terakhir, sempat bertanya-tanya. Apa yang dilakukan di ruang sidang? Ia hanya diminta untuk duduk dan mendengarkan saran-saran dari pembaca. Segampang itu, kah? Ya, hanya seperti itu. Bahkan, salah satu pembaca Adinda tidak bisa hadir karena ada kegiatan. Jadi, Adinda hanya sidang bersama dosen pembimbing dan satu dosen pembaca.

Setelah Adinda, satu per satu, teman-teman saya masuk ke ruang sidang. Sepuluh menit kemudian, mereka sudah kembali keluar dan menyatakan telah menjadi sarjana humaniora. Sidang yang aneh! Seperti halnya Adinda, teman-teman yang lain juga hanya duduk manis dan mendengarkan saran dari pembaca. 

Suasana Gedung VI FIB UI pagi itu sangat hangat. Banyak tawa dan hiburan menjelang sidang. Para dosen melewati kami dengan senyuman dan selalu memberi ucapan semangat. Ketegangan sidang juga tidak begitu terasa. Sebenarnya, sidang hari itu terasa seperti audisi. Kami, yang belum sidang, menunggu di lorong Gedung VI untuk menyambut teman-teman yang sedang sidang. Saat keluar ruang sidang, kami langsung menyambutnya dengan sorak-sorai dan pelukan.

Peserta sidang TA bersama para dosen Prodi Indonesia

Pada pukul 12.00, hampir seluruh mahasiswa sudah sidang. Walaupun demikian, saya masih belum dipanggil untuk masuk ke ruang sidang. Ada rasa sedih dan iri karena melihat teman-teman yang lain sudah sarjana. Siang itu, prodi mengajak peserta sidang untuk berfoto bersama sebagai kenang-kenangan. Bahkan, saya ingat bahwa Kaprodi berkata, "Ayo, foto dulu. Sidang tidak begitu penting, yang penting fotonya".

Setelah berfoto-foto, saya mulai nervous dan takut. Melihat teman-teman yang lain sudah berbahagia menjadi sarjana, saya masih harus sabar menunggu. Namun, beberapa teman menghampiri dan menyemangati saya bahwa sebentar lagi pun saya juga akan menjadi sarjana, sama seperti mereka.

Pukul 13.30, Pak Frans memanggil nama saya untuk menuju ruang 6108. Saya disuruh untuk menunggu sebentar di depan kelas. Kemudian, beliau masuk ke kelas. Tak berapa lama, ia kembali memanggil saya untuk masuk ruangan. Perasaan saya saat itu sangat campur aduk dan deg-degan. Saya masuk dengan senyum canggung. Pak Frans menyuruh saya untuk duduk di depan.

Hal yang membuat saya tegang adalah ternyata sidang saya disaksikan oleh Prof. Alan Lauder, suami Prof. Mia yang juga menjadi pakar linguistik di Indonesia. Bisakah kalian bayangkan saya berada di satu ruangan kecil bersama tiga profesor dan satu doktor dalam setengah jam ke depan?

Prof. Mia memulai sidang dengan menyapa saya dan hadirin, serta menjelaskan sedikit bagaimana sidang nanti. Kemudian, ia meminta saya untuk mempresentasikan tentang TA saya selama lima menit. Jujur, saya tidak mempersiapkan apa pun. Saya hanya menjelaskan apa yang saya ingat. Setelah lima menit, Prof. Riris dan Prof. Mia melemparkan beberapa pertanyaan. Setelah saya menjawab, beliau memberikan saran terhadap TA saya--saran-saran tersebut sudah saya masukkan ke dalam TA dan telah di-acc oleh kedua profesor.

Setelah sesi tanya jawab dirasa selesai, Prof. Mia langsung memberikan pengumuman terhadap kelulusan saya.
"Baiklah. Setelah membaca Tugas Akhir yang telah dibuat olehmu dan kami--Prof. Mia dan Prof. Riris--memberi penilaian, selamat kamu berhak lulus mendapatkan gelar sarjana humaniora dengan predikat A."
Tak sadar saya langsung menitikkan air mata. Saya tidak percaya, apa yang sudah saya perjuangkan selama kurang lebih setengah tahun berbuah manis sekali. Saya masih ingat betul Pak Frans tertawa kecil ketika melihat saya menangis di ruang sidang. Waktu itu, saya masih bertanya kepada para dosen, "Ini beneran, Bu?" yang dijawab oleh Prof. Riris, "Ya, beneran, dong. Tulisanmu bagus, kok. Selamat, ya." Beliau langsung memeluk saya. Saya juga diberi ucapan selamat oleh Prof. Alan, "Selamat, ya. Bahas linguistik forensik ternyata..." yang langsung disambut oleh Prof. Mia, "Keren, ya? Anaknya (Pak) Frans!" Saya hanya tersipu mendengarnya.

Kemudian, saya keluar ruang sidang masih sambil menangis. Saat itu, saya disambut oleh Gita. Saya meminta Gita untuk memfotokan saya bersama dosen pembimbing dan dosen pembaca. 

Setelah sidang TA, saya berfoto bersama Prof. Mia Lauder, Prof. Alan Lauder, Prof. Riris Sarumpaet, dan Pak Frans Datang.
Setelahnya, saya mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada Pak Frans. Beliau selalu berbaik hati dalam membimbing saya. Tanpa beliau, mungkin saya tidak akan lulus dengan hasil yang seperti ini. Beliau yang "menjebak" saya masuk ke dalam lingkaran linguistik forensik, yang tak banyak diambil oleh para lulusan linguistik. Terima kasih, Pak Frans.

Saya keluar ruang sidang menuju lorong Gedung VI FIB UI. Saat itu, semua orang bersorak menyelamati saya. "Wah, S.Hum. basian!! Selamat!" Kata-kata itu yang saya ingat, karena saya menjadi orang terakhir yang mendapatkan gelar sarjana humaniora pada hari itu. Saya juga ingat ternyata sudah ada orang tua saya yang ditemani Fajar--sahabat saya dari SMP--menunggu saya keluar dari ruang sidang. Kemudian, saya dan teman-teman langsung ke Pelataran Gedung IX FIB UI untuk berfoto bersama.

IKSI 2015, S.Hum. di Pelataran Gedung IX FIB UI

Saya juga tidak menyangka banyak teman yang menghampiri dan memberikan kenang-kenangan, seperti bunga, kado, dan makanan. Ini bukan masalah hadiah yang mereka berikan, kehadiran mereka-lah membuat saya sangat terharu. Hari itu, betapa saya merasa sangat disayangi banyak orang. Saya sering kali merasa tidak punya teman, tetapi hari itu mengingatkan saya bahwa saya masih punya banyak teman. Terima kasih banyak atas perhatian.... yang mungkin tidak bisa saya sebutkan satu per satu. :")

Hadiah
Melalui tulisan ini, saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada orang tua saya. Saya bukan anak yang bisa mengungkapkan perasaan kepada mereka, bukan pula anak yang selalu berbakti dan patuh terhadap mereka. Namun, saya ingin mengucapkan terima kasih karena telah menerima saya yang seperti ini. Terima kasih untuk tidak pernah mengecilkan hati saya ketika masuk ke jurusan yang mungkin bukan favorit semua orang. Terima kasih telah menerima argumen saya kenapa saya mau masuk jurusan Sastra Indonesia. Terima kasih selalu bangga dengan mengatakan kepada orang-orang, "Desty, anak bahasa, yang pinter nulis."



Ditulis pada 16 Agustus 2019 dan 2 Desember 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar